Ingin Liburan, Kuliah, atau Tinggal di Jogja? Coba Pahami dan Miliki 5 Sikap Ini!
Selain Solo, Jogja dikenal luas masyarakat Indonesia sebagai pusat kebudayaan jawa. Karena sama-sama sebagai pusat kebudayaan jawa; dua kota ini sering dijuluki kota kembar. Keberadaan keraton merupakan bukti riil sekaligus jawaban mengapa Solo dan Jogja sangat kental akan budaya jawanya dibandingkan daerah lain di Pulau Jawa. Dengan demikian, kehidupan keraton dianggap merepresentasikan budaya jawa yang baku. Selain ritual-ritual khas Mataraman yang masih dilestarikan, ditandai juga dengan mengakarnya budaya unggah-ungguh di masyarakat sekitar keraton. Unggah-ungguh artinya sikap sopan santun alias tata krama, atau kalau dalam Bahasa Inggris disebut dengan manner. Budaya unggah-ungguh tercermin dari pola komunikasi masyarakat yang menggunakan tingkatan-tingkatan (hierarki) bahasa menyesuaikan kedudukan lawan bicaranya (berkaitan dengan status sosial dan usia).
Di musim liburan, Jogja biasanya
selalu masuk list kunjungan para
pelancong. Bukan hal baru memang, tapi pernah kah kalian mengamati orang-orang
atau teman kalian yang berkali-kali ke Jogja untuk mengunjungi objek wisata
yang sama? Atau malah itu kalian sendiri? Kalian yang pernah merasakan atmosfer
Jogja pasti tahu alasannya hehe.
Walaupun saat ini semakin banyak daerah yang menawarkan objek wisata yang
menarik dan bergengsi, Jogja yang selalu tampil dengan wangi khasnya tak akan
tergantikan di hati yang pernah menanggalkan kenangan di kota itu. Kenangan
bersama mantan misalnya, eh. Apa pun
itu percayalah! Jogja itu istimewa.
Selain sebagai destinasi wisata,
Jogja juga dikenal sebagai kota pelajar. Ratusan universitas berdiri di sini;
beberapa di antaranya bahkan masuk dalam jajaran universitas ternama di
Indonesia, bahkan dunia. Maka beruntunglah kalian yang menuntut ilmu di kota
ini, selain mendapatkan pendidikan yang berkelas juga disuguhkan berbagai macam
objek wisata yang tidak ada habisnya; dari nuansa pantai sampai pegunungan
semua ada di sini.
Tapi kali ini, saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai hal tersebut. Melainkan membahas sikap apa yang wajib kita miliki ketika berkunjung atau tinggal sementara di Jogja. Sikap atau attitude kita menentukan apakah kita akan diterima baik di kota ini. Sebenarnya ini berlaku juga di tempat lain; seperti pribahasa melayu "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
1. Aruh
Aruh dapat diterjemahkan secara
bebas sebagai kegiatan bersapa, menyapa, atau mengenal. Sedangkan secara harfiah,
aruh merupakan suatu kegiatan dalam memulai atau menjaga silaturahmi guna menciptakan
hubungan yang harmonis. Hubungan yang harmonis melahirkan ketenangan batin dan
perasaan dihargai. Mengenal adalah pintu membangun konektivitas, dengannya mungkin
kita akan sangat terbantu jika suatu saat kita membutuhkan bantuan yang
mendesak. Maka gak usah panik kalau
tiba-tiba di antrean, di trans Jogja, atau di tempat umum ada yang mulai mengajak
ngobrol kalian. Tidak perlu dicuriga macam-macam, atau merasa di-sok kenal sok deket-in. Itu adalah
budaya aruh warga Jogja dan sekitarnya yang wajib pengunjung pahami dan membiasakan
diri serta menerapkannya; jika ingin tinggal cukup lama atau sekedar singgah menikmati
liburan akan lebih aman jika kita terlebih dahulu mengenal lingkungan kita dan
membaur dengannya.
2. Lungguh
Secara bahasa lungguh berarti
duduk atau secara makna berarti merendah. Makna yang lebih luas berkaitan
dengan cara kita berkomunikasi dengan orang lain; seyogyanya kita merendah atau
memposisikan diri lebih rendah dari lawan bicara kita, apalagi kepada yang
lebih tua. Begitu juga dengan lawan bicara, jika itu warga Jogja maka mereka sebisa
mungkin akan melakukan hal yang sama, karena sikap meninggikan diri sangat
tidak disukai warga Jogja. Merendah tidak harus dengan gestur tubuh kok, cukup dengan menggunakan intonasi
yang sekiranya lembut dan sopan. Jika kalian bisa berbahasa Jawa akan lebih
bagus lagi, tapi sebaiknya gunakan bahasa krama jikalau yang kita ajak bicara
itu orang tua (sepuh) atau orang lain yang belum dikenal. Filosofi lungguh ini
yang ditengarai menjadikan image
warga Jogja atau orang Jawa secara umum dikenal memiliki sifat yang lembut dan
sopan. Tentu tidak semua ya, hehe.
3. Ewuh
Ewuh atau ewuh pakewuh lebih
mendekati jika diterjemahkan sebagai perasaan tidak enakan atau sungkan. Jika
kita menawarkan bantuan kepada warga Jogja kemungkinan besar tawaran kita akan
ditolak di awal; kecuali jika kita terus menawarkannya sembari menunjukkan kesungguhan
ingin membantu, baru akan diterima. Penolakan itu bukan berarti warga Jogja tidak
menghargai, tapi lebih kepada dominannya perasaan ewuh yaitu perasaan takut merepotkan
orang lain. Namun, ketika kita terus menunjukkan kesungguhan membantu; perasaan
ewuh menolak kesungguhan orang lain justru menjadi lebih kuat dibandingkan ewuh
merepotkan orang lain. Ribet ya? hehe.
Saya coba ilustrasikan dengan percakapan di bawah ini,
“Pak motornya mogok ya? apa habis
bensinnya?”
“Iya nak, bensinnya habis”
“Tunggu di sini ya pak, saya
belikan bensin di pom-bensin monjali”
“Eh ndak usah nak, tak jalan saja
itu udah deket kok”
“Ndak papa Pak, pokoknya tunggu
aja ya pak, saya juga sekalian isi bensin untuk motor saya, sekalian jalan”
(Kemudian pemuda datang dan
mengisikan bensin ke motor pria paruh baya tersebut)
Terlepas dari sikap ketika
menerima dan menawarkan bantuan. Sikap ewuh ini juga ditunjukkan ketika
bertamu. Misalnya, jangan duduk sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah, juga
jangan mengambil camilan atau minuman sebelum tuan rumah minum terlebih dahulu,
sekalipun sudah dipersilahkan minum.
4. Gupuh
Secara bahasa gupuh berarti gopoh
atau tergopoh-gopoh. Namun, secara makna lebih kepada perasaan senang, ceria,
dan antusias ketika berkomunikasi atau bertatap muka dengan lawan bicara.
Kadang ekspresi antusias ini dituangkan dengan melempar pertanyaan basa-basi
yang seringnya menyangkut ke ranah pribadi. Kalian mungkin akan ditanya tentang
sekolah, pekerjaan, status hubungan, kapan nikah, eh maksudnya sudah berwisata kemana saja selama di Jogja, dan
banyak hal pribadi lainnya. Bagi sebagian orang, sifat kebanyakan warga Jogja ini
(atau jawa secara umum) membuat mereka tidak nyaman. Tapi, kalian tidak perlu
berpikir yang aneh-aneh kok.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dalam rangka mengakrabkan diri dengan kalian, mungkin hanya
itu cara yang mereka tahu. Jawablah sewajarnya dan tidak perlu diambil hati. Ini
lah antusiasme warga Jogja dalam membangun ikatan bersama kalian. Intinya gupuh
adalah bagaimana sikap kita menunjukkan bahwa kita senang, ceria, dan antusias
mendengarkan atau berinteraksi dengan lawan bicara kita.
5. Suguh
Kata suguh diserap ke dalam
Bahasa Indonesia tanpa merubah makna, bentuk, dan pelafalannya. Suguh secara
bahasa berarti melayani, menyuguhkan, atau menghidangkan. Ketika bertamu atau
menerima tamu, akan dinilai tidak sopan jika kita tidak menyuguhkan apa-apa. Ini
sama seperti kalian kalau ngapel ke rumah
gebetan, pasti minimalnya bawa martabak, iya kan? hehe. Kalau kita bertamu ke rumah salah seorang warga Jogja dan
dijamu dengan makanan dan minuman; jangan dimakan atau diminum sebelum tuan
rumah mempersilahkan kalian, bahkan sebelum tuan rumah makan atau minum
terlebih dahulu. Jika sudah mencicipi ternyata tidak sesuai selera kalian,
tetaplah dimakan secara perlahan sampai habis. Menyisakan makanan yang
disajikan biasanya akan dinilai kurang menghargai tuan rumah. Pada dasarnya,
warga Jogja atau orang jawa secara umum kebanyakan sifatnya mudah memberi atau yang
dalam bahasa jawanya disebut loma. Namun,
tidak berarti bahwa kita secara tidak tertulis boleh selalu mengharap pemberian.
Dengan kita memahami sifat warga Jogja ini, kita bisa menirunya agar hubungan
timbal balik terjadi.
Demikianlah 5 sikap yang wajib
dimengerti dan dimiliki para pendatang yang merencanakan liburan atau kuliah di
Jogja. Semoga dengan sedikit informasi ini, sikap-sikap tersebut dapat
diterapkan sebagaimana mestinya agar perjalanan menjadi bermakna dan
menyenangkan. Selamat menikmati keramahan warga Jogja hehe.