Sebuah Jejak Pendakian – Terima Kasih Merbabu [Part 1]
Sebelum aku cerita pengalaman pendakian pertamaku, aku mau ceritain dulu nih awal mula kenapa aku mutusun ikut pendakian merbabu. Semua berawal dari persaingan antar kelas di angkatan Teknik Fisika 2016. Jadi di angkatanku ini ada dua kelas yang masing-masing kelas cukup berbeda karakter mahasiswanya. Perbedaan karakter ini sedikit banyak dipengaruhi karena perbedaan jalur masuknya, kelas A diisi oleh mahasiswa yang lolos seleksi rapot (SNMPTN), sedangkan kelas B diisi oleh mahasiswa yang lolos seleksi ujian tulis (SBMPTN & UTUL). Dikotomi ini hampir-hampir buat angkatan kami pecah.
Tepatnya setelah UAS, kelas A diam-diam
ngerencanain liburan yang khusus untuk kelas A sendiri. Jelas dong, ini ngebuat
kelas B cemburu, ditambah salah seorang mahasiswa kelas A iseng nge-share foto-foto liburan mereka ke album
grup angkatan (Line Apps). Kesannya di sini sangat jelas, kelas A sengaja memulai
persaingan. Maka wajar kalau kelas B merasa tersisihkan.
Tiba lah kami di semester 2,
suasana kampus jadi berbeda, antarkelas terasa sekali aura persaingannya.
Sampai akhir semester 2, aura persaingan masih sama. Buat kelas B, ini momen
balas dendam yang sempurna hehe. Ohiya, aku sendiri bagian dari kelas B lho,
jadi aku cuma melihat dari perspektif kelas B ya. Kemudian kami merencanakan
liburan yang berbeda. Kami berencana mengadakan pendakian ke gunung merbabu,
kami merasa ini bakal jadi ajang yang pas buat unjuk solidaritas.
Kami kemudian nyiapin segala
sesuatunya, pertama banget yaitu ngebuat list
siapa aja yang mau ikut pendakian. Tapi sayang bre! dari 40 mahasiswa cuma 4
orang aja yang sampai hari H tetap berkomitmen ikut pendakian. Tapi ini ngga
jadi masalah sih, kami maklum karena sebagian besar belum punya pengalaman
mendaki. Selebihnya ngga diberi izin orang tuanya. Itu ngga berarti kami ngga
solid lho, kami tetap saling dukung supaya kegiatan ini berjalan lancar.
Ohiya, by the way, aku pun sebenarnya ngga punya pengalaman mendaki,
parahnya juga belum dapat izin dari orang tua di rumah. Kalau aku terus terang udah
pasti mereka ngga akan ngasih izin mendaki (jangan ditiru ya bre! serius dah,
sumpah jangan! hehe). Aku cuman punya modal nekat dan modal penasaran aja sih
sebenernya, seperti apa sih mendaki itu? ada apa di atas sana? Kalian yang
belum pernah mendaki pasti juga penasaran seperti apa sih rasanya, ya kan?
sama? tos dulu dong! :D
Kata orang sih seru, tapi apa iya? makanya aku
coba beraniin diri deh. Dasarnya memang aku tertarik banget sama sesuatu yang
berbau alam dan petualangan. Karena situasi dan kondisi yang ngga mendukung
minatku ini, ya aku cuma kayak anak pingit alias rumahan hehe. Petualangan paling
jauhku cuma kegiatan camping pramuka
di kuningan semasa sekolah dulu. Jadi ini kesempatanku yang ngga boleh aku
sia-siain, karena bisa jadi ngga akan pernah datang lagi di hidup aku.
4 orang itu di antaranya aku sendiri dan bersama ketiga temanku yang bernama Afif, Hanif, dan Dinta. H-1 kami mulai berkemas, menyiapkan logistik dan perlengkapan yang perlu dibawa. Kami membagi tugas, ada yang membawa peralatan masak, tenda, matras, makanan ringan, air mineral, obat-obatan, dan tentunya kamera untuk dokumentasi perjalanan hehe. Karena cuma berempat, kami memutuskan untuk naik motor, karena lebih mudah dan yang terpenting irit haha. Tapi ngga sembarang motor, kami milih memakai motor matic karena ada ruang kosong di bagian depannya yang bisa digunain buat tempat tas carrier.
“Motor ku matic, nganggo motor ku wae ben penak lur” tawarku
ke mereka.
(Motorku matic, pakai motorku aja biar enak)
“yowes, sijine nganggo motorku wae yo, tak nyetir, masio
motor bebek tapi insyallah aman lur” tawar Afif.
(Yasudah, satunya pakai motorku aja ya, saya yang nyetir, walaupun motor bebek tapi insyallah aman)
Nggak lupa, kami juga perlu
nyiapin fisik karena besok akan jadi hari yang melelahkan. Pokoknya fisik harus
tetap bugar dan sehat. Walaupun ini pendakian pertamaku, aku ngga mau jadi
beban untuk mereka. Kalian yang berencana naik gunung harus benar-benar siap fisik
dan mental ya, percaya deh itu penting banget untuk keselamatan kalian. J
Sebelum terlalu jauh bercerita,
mungkin ada di antara temen-temen yang belum tahu menahu tentang gunung
merbabu. Cung! hehe
Jadi gini, gunung merbabu itu salah satu gunung berapi di Indonesia yang memiliki ketinggiannya 3.145 mdpl bertipe strato yang berada di wilayah administratif Kabupaten Magelang di
lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur dan
selatan, dan Kabupaten Semarang di lereng sebelah utara, Provinsi Jawa Tengah.
Gunung ini sangat populer di
kalangan pendaki. Konon ya gunung ini termasuk gunung terindah di Pulau Jawa.
Medannya tidak terlalu berat sehingga gunung ini seringkali jadi gunung
terfavorit di kalangan pendaki pemula. Tapi udara dinginnya itu lho sangat perlu
diperhatikan bre! Dingin banget sumpah!
Ada beberapa jalur pendakian
resmi yang tersedia, di antaranya ada jalur kopeng thekelan, jalur wekas, jalur
kopeng cunthel, jalur swanting, dan jalur selo (pelafalan “se”-nya bukan kayak “se”
di kata selow tapi dilafal kayak “se”
di kata sempak). Menurut
penuturan temanku yang udah coba semua jalur, menurutnya jalur selo yang paling
indah dengan sabana yang menghampar luas yang memanjakan mata membuat
perjalanan terasa menyenangkan sekaligus medannya yang cukup mudah. Jadi kami
memutuskan untuk mendaki jalur selo, tepatnya di Kabupaten Boyolali.
Singkat cerita, besoknya tanggal
31 Maret 2017 setelah sholat jumat, kira-kira jam 13.00 WIB kami berangkat ke
Basecamp Merbabu via selo.
Ketika kami lihat ke arah utara, subhanallah tampak dari jauh awan
cumolonimbus yang hitam pekat. Sepertinya perjalanan kami kali ini ngga mudah, kami harus bergerak ke arah utara karena secara lokasi Kabupaten Boyolali
letaknya di utara Provinsi DI Yogyakarta, yang artinya mau tidak mau kami harus
mendekati awan yang tebal itu.
Dengan mantol yang sudah kami
siapkan di jok motor dan sedikit percaya diri, kami langsung tancap gas. Byur!
Dugaan kami benar cuy, baru setengah jam perjalanan kami udah diguyur hujan
deras.
“Leren sek wae bro, bahaya nek nekat” seru Hanif.
(istirahat dulu aja bro, bahaya kalau nekat)
Kami kemudian berhenti di warung tenda pinggir jalan yang untungnya sedang tutup, jadi kami semua bisa berteduh di sana. Hujannya sangat deras dan berangin, walaupun kami sudah siap mantol di motor dengan hujan selebat itu tetap tidak berani nekat bre, bahaya! :D, sangat berisiko. Kami menunggu dengan sabar sampai reda atau minimal cukup aman untuk melanjutkan perjalanan. Ini bre penampakannya hehe,
Aku nggak tahu persis ini di
mana, tapi perkiraanku ini udah masuk di Kabupaten Magelang, tapi masih sangat
jauh dari tujuan. Setelah agak reda, kami melanjutkan perjalanan dengan memakai
mantol. Siapa tahu kan di depan deras lagi? hehe.
Setelah agak reda, kami coba menerabas hujan sambil berdoa mudah-mudahan isi tas tetap aman hehe. Aku nggak bisa bayangin seandainya isi tas basah, pasti di atas gunung bakal kesiksa banget. Bisa bayangin kan gimana suhu di atas gunung kayak gimana? bisa-bisa hipotermia, duh amit-amit L.
Di foto itu, yang paling depan
bukan aku ya bre, aku naik motor mi* putih di belakang. Bisa dilihat kan,
hujan udah reda tapi tetap menyulitkan kami. Habis hujan, jalannya jadi tambah
licin, udah gitu banyak banget lubang di jalan yang kegenang air. Berkali-kali
motor masuk lubang, yang hampir-hampir menyelakakan kami. Duh biyuh, mbrigidig tanganku bre, dingin banget
hehe.
Nah, gunung yang kalian lihat itu
namanya gunung merapi. Kalau dari jauh, gunung merapi & gunung merbabu itu
kayak gunung kembar. Kalau dilihat dari puncak merbabu, pasti kelihatan dekat
banget bre, nanti deh aku tunjukin gambarnya hehe.
Perjalanan kami dari Jogja ke basecamp cukup memakan banyak waktu nih, yang normal harusnya 3 jam aja, ini bisa sampai 4 jam lebih. Artinya waktu istirahat kami di basecamp tersita 1 jam L. Kami berhenti pertama kali di masjid, aku lupa namanya masjid apa hehe, kami sembahyang ashar di sana sambil manfaatkan waktu buat nge-charge HP & power bank buat kebutuhan foto-foto di atas nanti.
Lagi, yang selfie ini namanya
Afif, kalau aku yang lagi pakai sepatu dibelakang itu hehe. Di foto ini, kami
udah siap melanjutkan perjalanan lagi ke basecamp yang kurang lebih 10 menit
dari sini.
Nah ini dia, kami udah sampai di
basecamp. Kami makan dan istirahat di sini sambil merencanakan pembagian tugas
pendakian. Dinta dipercaya sebagai sweeper
karena fisik dan staminanya yang kuat, Hanif sebagai leader karena sebelumnya udah
pernah mendaki merbabu, sedangkan aku dan Afif sebagai tim logistik yang
mengurusi makanan dan air hehe. Jadi gini temen-temen, aku juga baru tahu
ternyata di dunia pendakian ada pembagian tugas seperti ini, tidak lain agar
pendakian berhasil dan selamat. Selain itu melatih kepemimpinan dalam mengemban
tanggung jawab. Konon bre, dengan pendakian kita bisa melihat karakter asli
teman kita. Makanya ini rekomen banget buat kalian yang udah pasangan hehe. Oke
jadi gini temen-temen pembagian tugas selama kegiatan mendaki gunung itu, di
antaranya ada :
Navigator : Posisi ini biasa diisi oleh mereka yang udah
hafal betul rute pendakian. Tugasnya memberikan petunjuk arah yang tepat. Umumnya
gunung-gunung di Indonesia rute pendakiannya sudah sangat jelas (ada jalur yang
jelas), jadi posisi ini tidak lagi vital, kecuali kalau kita memutuskan mendaki
dengan jalur tidak resmi atau jalur yang masih baru.
Leader : Mereka yang punya jiwa pemimpin dan memiliki emosi
yang stabil saja lah yang boleh mengisi posisi ini. Karena posisi ini sangat
vital jikalau menemui keadaan yang genting leader harus mampu mengalkulasi
risiko dan membuat keputusan yang tepat. Kebayang dong kalau leadernya baperan
atau tukang ngeluh? repot semua kita hehe.
Follower : Seperti namanya ya, follower berarti pengikut.
Jadi mereka wajib ikut arahan leader yang memang berpengalaman dan paham medan.
Hal yang paling penting dari setiap pendakian adalah keselamatan. Catat ya bre,
bila perlu renungi sebelum memutuskan naik gunung.
Logistik : Ngga kalah pentingnya, tim logistik bertanggung
jawab mengatur dan memastikan perbekalan sehingga mencukupi sampai kembali lagi
ke basecamp. Jika tidak, bisa-bisa pendaki kehabisan energi yang kemudian bisa
menurunkan suhu tubuhnya. Pada keadaan yang lebih parah akan mengarah ke
keadaan hipotermia di mana suhu tubuh akan berada di bawah suhu normalnya (<
35oC) yang berujung kematian. Serem kan bre? L
Sweeper : Sweeper wajib ada dalam setiap pendakian, sama seperti halnya leader. Sweeper bertugas memastikan tim pendakian lengkap dan sehat, oleh karena itu posisi sweeper berada di paling belakang. Dengan posisi demikian, memudahkan sweeper memonitor kondisi pendaki yang berada di depannya. Karena tugas yang berat ini lah, sweeper haruslah orang yang memiliki fisik dan stamina yang kuat.
Setelah puas istirahat, kami memutuskan pendakian kira-kira jam 17.00 WIB. Jujur aja, aku agak cemas karena ini kan kali pertama aku mendaki ya, tapi udah harus menghadapi pendakian malam L. Jujur aja aku ngga takut setan bre, demit atau sebangsanya ya, aku lebih takut hewan liar yang aktif di malam hari kayak ular tanah misalnya yang racunnya duh bre sangat mematikan! Karena warnanya coklatnya yang menyatu dengan warna tanah, dia bisa berkamuflase tanpa terlihat oleh kami, ini merepotkan apalagi di malam hari. Bisa bayangin kan gimana mencekamnya? apalagi kalian yang masih takut setan haha.
Ini dia sesaat sebelum kami memasuki gapura pendakian dibaluti ekspresi semangat, tapi percayalah bre ini nggak bertahan lama wkwk.
Ini penampakan gapuranya bre,
kami berfoto bersama dulu di sini. Dari penampilannya Dinta kelihatan lebih
siap ya hehe. Wajarlah dia paling banyak pengalaman mendakinya dibandingkan
yang lain. Ohiya, ada yang terlewat. Kami udah mengurus administrasi SIMAKSI
(Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) kok bre di pintu masuk basecamp, jadi
udah langsung cus aja naik hehe. Aku lupa berapa harga tiketnya, tapi yang
pasti di bawah Rp 50.000,- per pendaki. Harga tiket sudah termasuk ansuransi
kecelakaan ya bre. Jadi misal amit-amit terjadi apa-apa pada kami, maka
pengelola taman nasional gunung merbabu akan bertanggung jawab.
Jalur selo terdiri dari 5 Pos dan
beberapa pos bayangan bre, bisa dilihat di denahnya yang udah aku cantumin.
Kami memutuskan untuk berkemah di pos 3 karena di sana areanya luas dan
vegetasinya relatif rendah (transisi). Perjalanan dari gapura sampai ke pos 1
cukup mudah, trek ngga terlalu curam justru cenderung landai. Tapi panjang bre haha,
butuh waktu 3 jam perjalanan.
Beberapa kali kami istirahat
untuk membasahi tenggorokan kami yang kering. Suhu yang semakin dingin membuat
tenggorokan mudah sekali kering bre, selain karena kelelahan (pasti dong ini
mah) hehe. Dengan bobot carrier sekitar 20 Kg dipundak dan trek yang menanjak,
kira-kira bisa dibayangkan ya? lelah bre sumpah!, rasanya mau nyerah dan mau
pulang aja wkwk. Tapi rasa penasaranku ini selalu bisa ngalahin perasaan lelah
itu. Jadi hajar teruslah ya!
Pos 1 ke pos 2 sangat pendek,
tapi kemiringannya makin meningkat. Treknya lebih berbatu dan sedikit curam,
sering kali jadi sebab kami tergelincir karena keterbatasan pandangan (hanya
mengandalkan cahaya senter dan cahaya bulan).
Hanya butuh 1 jam kami sampai di pos 2, yang artinya tinggal 1 pos lagi
kami bisa bangun tenda dan tidur nyenyak untuk persiapan ke puncak esok
harinya. Ngga disangka, ternyata walaupun kelihatannya jarak antara pos 2 dan
pos 3 pendek tapi treknya benar-benar curam, alhasil kami lebih mudah kelelahan
dan karenanya jadi lebih sering istirahat hehe. Estimasi yang harusnya 1 jam
ternyata molor sampai 1,5 jam.
Sampai di pos 3, rasanya kaki ku
ini mati rasa, kram, ditambah pundak yang linunya bukan main bre! Di pos ini
banyak sekali pendaki yang nge-camp, rata-rata mereka mendaki dari siang. Tapi
untungnya, masih ada ruang yang kosong untuk tenda kami. Setelah istirahat
sebentar kami langsung bangun tenda dan sholat di dalamnya.
Saat itu kira-kira jam 22.00 WIB,
udara malam semakin dingin. Kami coba nyalakan kompor portable yang kami bawa
untuk nyeduh minuman hangat. Sialnya, klep gas kompornya renggang. Alhasil gas
bocor dan sangat bahaya kalau api tetap nyala, bisa-bisa tendanya kebakar. Rencana kami gagal, kami kedinginan bre haha.
Dengan memakai sleeping bag, aku coba tidur aja lah kali aja dinginnya jadi ngga
terlalu kerasa. Lagi pula badan udah lelah banget butuh istirahat.
Tapi, sialnya lagi aku ngga bisa
tidur nyenyak karena kepala mendadak pusing, suhu badan dingin, dan gigi terus-terusan
menggigil. Aku bener-bener cemas, sepertinya ini tanda-tanda awal hipotermia.
Lalu aku coba makan sedikit bekal yang kubawa, yang mudah-mudahan itu bisa
menghentikan laju penurunan suhu badanku ini. Setelah itu alhamdullah aku bisa
tidur pulas.
Tiba-tiba ketika kesadaranku kembali, aku rasain sakit yang luar biasa di sekujur badan, rasa-rasanya 3 kali lebih sakit dari sebelumnya haha. Kami bangun kira-kira di waktu shubuh untuk sholat dan mengisi perut kami yang kelaparan. Kami coba minta bantuan pendaki lain, berharap ada yang baik hati meminjami kami kompor untuk masak air dan mie instan. Alhamdulillah, ada pendaki yang baik banget minjami kami kompor. Ah rasanya seger banget minum teh di atas gunung begini. Percaya atau ngga, teh dan mie yang kami buat mendadak lebih enak & lezat dari biasanya, lapar kali ya haha.
Ini aku yang sudah berani keluar dari tenda haha yang niatnya mau foto siluet, tapi karena sudah agak telat siluetnya ngga dapet deh.
Ini situasi pos 3 ketika itu, cukup ramai. Di atas bukit kecil itu lah di mana aku tadi foto cari siluet.
Ini kami yang sedang masak mie untuk sarapan. :D
Setelah
menghangatkan diri dan mengisi perut yang kosong, kami bersiap membawa barang
yang perlu dibawa ke puncak kayak dompet, HP, dan yang ngga boleh lupa
peralatan untuk foto-foto di puncak nanti hehe. Sedangkan tenda dan tas kami
tinggal di pos 3. Insyallah aman bre! Inget ya jangan sampai meninggalkan
barang berharga, rawan hilang. Ngga sedikit lho pendaki yang jail, untuk itu
kita harus tetap waspada.
Hal yang ngga kami duga terjadi, .....
Ohiya, sampai di sini dulu ya, nanti aku buat part-2 nya. Stay tuned! :D
Post a Comment